PERAN IBU DALAM PENCEGAHAN KEJAHATAN SEKSUAL

Maraknya kasus kekerasan seksual menjadi kegelisahan tersendiri, khususnya bagi para ibu. Awal bulan Desember ini, seorang mahasiswi di Mojokerto, Jawa Timur dikabarkan tewas bunuh diri di samping makam ayahnya. Sebelumnya, ia disinyalir depresi karena merasa menjadi korban kekerasan seksual seorang oknum polisi yang diakui pula sebagai pacarnya. Gadis itu sempat mengatakan bahwa empat bulan sebelumnya ia telah direnggut kehormatannya pada saat tak sadarkan diri di bawah pengaruh obat tidur. Saat tahu dirinya hamil, lelaki itu bukannya bertanggung jawab malah menyuruh agar ia melakukan aborsi. Akibatnya, ia merasa ketakutan dan putus asa lalu nekat meregang nyawa.
Berita lain yang sangat memprihatinkan dan membuat malu adalah mengenai seorang guru pesantren di Bandung yang tega memperkosa 12 santriwatinya hingga beberapa korbannya hamil dan melahirkan. Perbuatan ini sungguh sangat biadab dan amat mencoreng marwah pendidikan Islam khususnya pesantren.
Kekerasan seksual adalah bagian dari kejahatan seksual yang merusak moral dan tatanan hidup individu juga masyarakat. Semua mata harus peduli dengan kondisi carut marut ini, tak terkecuali para ibu. Apa kaitan peran ibu dalam pencegahan kasus kejahatan seksual di tengah masyarakat? Tentunya sangat banyak dan sangat penting. Meskipun penghuni jagat maya sudah ikut menyerang dan memberikan sanksi sosial kepada oknum polisi di atas agar dihukum seberat-beratnya juga oknum guru pesantren pun sudah dikurung dalam penjara karena memiliki perilaku amoral, akan tetapi sesungguhnya permasalahan mendasar dari kejahatan seksual lebih dari itu.
Sebelum kasus ini ramai diperbincangkan, publik juga sudah disuguhi berita terkait keluarnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Salah satu alasan diterbitkannya regulasi ini karena pihak kemendikbud ingin memberikan perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual di lingkungan kampus. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim dalam laporannya mengatakan bahwa 77% dosen mengakui tindak kekerasan seksual terjadi di lingkup perguruan tinggi. Dari angka tersebut, tercatat 66% di antaranya memilih untuk tidak melaporkan kepada pihak berwenang, dikarenakan khawatir justru mendapat stigma negatif dari masyarakat. Data ini diperkuat oleh temuan Komisi Nasional Perempuan yang menunjukkan terdapat 27% aduan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi berdasarkan laporan yang dirilis Oktober 2020.
Namun, setelah dicermati beberapa bunyi pasal dalam permendikbud tersebut justru menuai kontroversial. Alih-alih mencegah, sebaliknya malah berpeluang membuka masalah baru yang menjadi akar dari sebagian besar masalah, yakni pergaulan bebas khususnya di kalangan kampus. Dalam Pasal 5, ayat 1 dikatakan, “Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.”
Akan tetapi dalam ayat ke-2 pada butir-butirnya banyak termuat sexual consent (persetujuan seksual) melalui kalimat “tanpa persetujuan korban”. Artinya pelecehan seksual tidak berlaku kalau dilakukan atas persetujuan korban (suka sama suka/tanpa paksaan). Butir tersebut terdapat pada ayat (2) pada huruf b, f, g, h, l, dan m yang bunyinya sebagai berikut: Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
(b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; (f) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (g) mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (h) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (l) menyentuh, mengusap,meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; (m) membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.
Tentu saja respon masyarakat bermunculan di sana-sini karena Permendikbud ini dipandang berpotensi melegalkan pergaulan bebas yang mengarah pada perzinahan. Padahal semua pihak sangat menyadari bahwa tanpa ada larangan pun gaya pergaulan bebas laki-laki dan perempuan di Indonesia sekarang bisa dikatakan sudah berada di titik rawan, apalagi jika “merasa” tidak masuk dalam kategori yang dipermasalahkan atau dianggap melanggar hukum.
Hasil Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2007 begitu gamblang menggambarkan kondisi umum perilaku seksual remaja di 12 kota besar di Indonesia. Menurut KPAI dari 4500 remaja yang disurvei, 97% di antaranya mengaku pernah menonton film porno, sebanyak 93,7% remaja SMP dan SMA pernah berciuman serta bercumbu hingga oral seks. Hal yang menyedihkan 62,7% remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi. Bahkan, 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Pada tahun 2015, Dinas Kesehatan DIY mencatat ada 1078 remaja usia sekolah di Yogyakarta yang melakukan persalinan. Dari jumlah itu, 976 di antaranya hamil di luar pernikahan. Angka kehamilan itu merata di lima kabupaten/kota di Yogyakarta.
Semua pihak tentu saja berharap bahwa angka-angka di atas tidak sekadar dibicarakan tetapi dicari langkah konkret untuk mengatasinya. Negara juga harus hadir untuk turun tangan menyelesaikannya. Pada tahun 2017, DPR melalui Rapat Paripurna menyepakati adanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) akan tetapi dicabut oleh Program Legislasi Nasional tahun 2020 karena adanya perbedaan paradigma dan menuai pro-kontra di masyarakat. Sama seperti halnya permendikbud, dalam RUU PKS ini juga mengadopsi sexual consent. Pemidanaan dalam RUU-PKS ini hanya didasarkan pada ada dan tidak adanya unsur kekerasan sehingga tidak komprehensif untuk menjangkau delik perzinahan dan penyimpangan seksual.
Pada tahun 2021 ini, Badan Legislatif DPR mengusulkan draf terbaru yaitu draft RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Namun, lagi-lagi RUU-TPKS ini juga masih tetap memuat soal persetujuan seksual yang berpotensi menghadirkan seks bebas. Di dalamnya juga belum mengatur tentang larangan perzinahan dan penyimpangan seksual seperti LGBT, padahal itu nyata-nyata tidak sesuai dengan Pancasila, budaya dan norma agama yang dianut bangsa Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah dan berbagai data yang mendukung fakta kekerasan seksual maupun perilaku seksual bebas di atas, sudah selayaknya ini menjadi concern para ibu di zaman milenial sekarang, di mana budaya permisif sudah menjadi pemandangan sehari-hari dan bertebaran di sana-sini. Upaya pencegahan harus menjadi kampanye bersama di semua lini masyarakat dan dimulai dari unit terkecil keluarga. Orang tua memiliki andil besar dalam upaya pencegahan kepada anak-anaknya terutama jika mereka sudah memasuki usia remaja dan dewasa. Peran ibu tak terkecuali, karena pada umumnya merekalah yang lebih memiliki kedekatan fisik dan emosi dalam upaya pembinaan dan pendidikan seksual anak-anaknya.
Kejahatan seksual didefinisikan sebagai semua tindakan seksual, percobaan tindakan seksual, komentar yang tidak diinginkan, perdagangan seks, dengan menggunakan paksaan, ancaman, paksaan
fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan dengan korban, dalam situasi apa saja.
Kejahatan seksual dapat dalam berbagai bentuk termasuk perkosaan, perbudakan seks dan atau perdagangan seks, kehamilan paksa, kekerasan seksual, eksploitasi seksual dan atau penyalahgunaan seks dan aborsi.
Dalam Islam, melakukan kejahatan seksual merupakan tindakan yang keji. Hubungan seks bebas dan segala bentuk hubungan biologis lainnya di luar ketentuan agama adalah perbuatan yang membahayakan serta mengancam keutuhan masyarakat seperti dalam firman Allah SWT dalam QS. Al Israa ayat 32 yang artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Mengutip nasihat Abdullah Nashih Ulwan dalam buku “Pendidikan Anak dalam Islam “ terkait pendidikan seksual di keluarga, orang tua memiliki tanggung jawab penuh. Tanggung jawab orang tua dalam menghindarkan anak dari rangsangan seksual ada 2:
- Tanggung jawab memelihara motif intrinsik, artinya mengikuti dasar-dasar Islam dalam mencegah setiap motif yang membangkitkan birahi anak dan merangsang seksualnya. Yang bisa dilakukan di rumah misalnya mengatur tontonan TV anak dari adegan-adegan tak senonoh, mengawasi pergaulan anak yang menginjak remaja baik terhadap teman laki-laki maupun teman perempuannya.
- Tanggung jawab memelihara motif ekstrinsik, artinya memperhatikan lingkungan atau faktor-faktor luar yang bisa menjerumuskan ke jurang kehancuran antara lain tontonan pornografi di bioskop atau lainnya, mode pakaian seronok, sarana prostitusi, persahabatan dan pergaulan negative, percampuran antara 2 jenis (ikhtilat) secara bebas.
Metode yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk hal tersebut adalah dengan penyadaran, peringatan dan ikatan. Penyadaran bahwa kerusakan sosial dan dekadensi moral yang tersebar di masyarakat berasal dari budaya-budaya non islam yang memiliki misi khusus merusak peradaban islam. Kedua, peringatan bisa melalui pemahaman tentang bahaya dari munculnya hawa nafsu yang liar maupun perzinahan seperti penyakit-penyakit seksual tertentu. Ketiga ikatan. Ikatlah anak dengan ikatan keyakinan, ruhani, pemikiran, historis, sosial dan olahraga sejak masa pra pubertas hingga dewasa. Ikatan Robbaniyah akan mengangkatnya dari kejahiliyahan, menolong terhadap hawa nafsu dan meluruskan ke jalan kebenaran dan hidayah.
Tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan seksual anak pada masa pubertas berkenaan dengan mengajarkan hukum-hukum syara. Misalnya jika anak lelaki usia 12-15 tahun sudah keluar air mani (bermimpi) maka ia sudah terbebani syara. Kepada anak gadis bila sudah haid berarti telah balighah. Orang tua menjelaskan apa implikasi dari pertanda kedewasaan tersebut terutama terkait menunaikan ibadah kepada Allah, juga implikasi jika mereka melakukan perbuatan yang dilarang agama terkait asusila.
Terakhir diantara pandangan Islam tentang seks adalah bahwa Islam memandang pemenuhan syahwat dan naluri secara halal adalah melalui perkawinan, yang termasuk salah satu amal saleh. Perkawinan dalam pandangan islam adalah ibadah, dan menurut Rasulullah ada sedekah pada hubungan suami istri yang sah.
Untuk para ibu yang memiliki anak-anak yang sudah tumbuh dewasa baik laki-laki maupun perempuan, pertegaslah diri mereka untuk menghindari pergaulan bebas. Menutup aurat dengan baik, membekali diri dengan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, juga skill atau ketrampilan hidup, dan tidak mendekati zina dalam hal ini pacaran, karena begitu nyata dan jelas bahwa pacaran itu pintu masuknya syetan untuk menggoda nafsu manusia. Ajarkan anak-anak kita untuk takut kepada Allah jika melanggar ketentuan ini. Jangan remehkan bahaya pacaran, karena dari aktifitas negatif ini, banyak yang terjatuh khususnya perempuan sebagai pihak yang paling dirugikan, contohnya kasus yang dikemukakan pada awal tulisan. Yang tak kalah penting, berkaca pada kasus guru yang bertindak asusila, maka selektiflah dalam memilih tempat pendidikan bagi anak-anaknya dengan banyak menggali informasi dan mengenal betul bagaimana karakteristik tempatnya menuntut ilmu termasuk para pendidiknya.
Tidak ada penanganan dalam kejahatan seksual yang memuaskan. Jika sudah terjadi maka akan menimbulkan sebuah noda dan trauma berkepanjangan bahkan seumur hidup. Hal yang lebih baik, relevan juga keharusan bagi kita adalah tindakan pencegahan. Cegahlah pintu-pintu kejahatan seksual semaksimal mungkin.
-Sih Wikaningtyas, S.Si, M.Pd-
You May Also Like

3 Menu Yummy di Kala Pandemi
03/07/2020
ADAPTASI NEW NORMAL, …ARE YOU READY?
01/07/2020