ADA PELANGI INDAH DI UJUNG HUJAN
Pagi tadi saat aku mengeluarkan motorku dari garasi, istriku tiba-tiba nyeletuk. “Bang.. tadi malam bang FATHIN nelfon ke Ade! (Bang FATHIN adalah panggilan buat anak sulung kami yang sedang merantau di Batam)”. Dia bercerita bahwa nasehat-nasehat yang dulu pernah disampaikan oleh ayah dan umi terasa banget manfaatnya buat FATHIN sekarang.
Mendengar itu, hatiku terasa sejuk mendengarnya. Betapa tidak, anak sulung kami, yang sekian tahun tidak menemukan jalan terang kehidupannya saat ini dia menjadi anak yang membuat kami keluarganya menjadi bahagia dengan perilakunya. Dengan kesadaran sendiri dia mencari pengajian yang sama dengan yang diikuti oleh ayah dan uminya serta adik-adiknya. Dia juga sudah rutin ke masjid sholat 5 waktu.
Perilaku dan sikapnya menunjukkan bahwa dia sangat peduli dengan keluarganya. Bahkan bersama kawan-kawan pengajiannya, dia selalu hadir dalam aksi-aksi peduli Palestina. Serasa kami sekarang memiliki gelombang semangat yang sama antara anak dengan orang tua dalam bersikap terhadap permasalahan umat.
Yang membuatku heran, saat kemarin dia pulang ke rumah, dia tampak memelihara jenggot walau hanya tumbuh segelintir dan dibiarkan memanjang menjuntai di dagunya. Yang menurutku lebih cocok seperti penampakan engkong-engkong di film cina. Dengan penasaran aku tanya, “Kenapa abang sekarang pelihara jenggot? Lucu abang pakai jenggot.” komentarku. Dengan enteng dia menjawab, “Biar gak ada perempuan yang tertarik sama FATHIN, karena kalau lihat jenggot FATHIN kan gak ada perempuan yang berani godain.” Jleb.. kaget aku. Gak nyangka dia menjawab begitu. Anak sulungku ini sejak kecilnya sudah menjadi perhatian kaum hawa. Wajahnya mirip artis kata banyak orang. Ganteng, putih dan pandai membawa diri. Sehingga ujian terbesarnya selalu tak jauh dari lawan jenis. Tapi, dengan pesonanya tersebut, tak bakalan ada yang menyangka bahwa anak sulungku ini sekian tahun membuat api panas membara di keluargaku. Betapa tidak, saat SMA saja, dia harus menjalaninya selama empat tahun. Berpindah-pindah hingga tiga sekolah. Bahkan saat akan menamatkan sekolahnya umi dan wali kelasnya harus rela mencari-carinya ke beberapa rumah temannya agar mau diajak ikut ujian akhir. Sudah berhari-hari dia tidak pulang ke rumah dan tidak masuk sekolah. Begitupun saat kuliah. Mengaku menjalani kuliah, ngekost, dikirimin uang bulanan namun ternyata dia tak lagi mengikuti kuliah hingga akhirnya di drop out dari kampusnya. Nyaris hampir selama sepuluh tahun dia telah berhasil membuat kami berlatih bersabar dan membuat rumah kami terasa berduri. Bagaimana nanti masa depanmu nak. Keresahan panjang yang tak tau sudah berapa kali aku ungkapkan kepadanya.
Anak sulungku ini ku akui sebenarnya memiliki otak yang encer. Dari kecil dia sudah biasa berprestasi. Paling mudah diajarkan apa saja pelajaran-pelajaran sekolah. Bahkan saat tamat SMA, dia masih bisa meraih ranking 7 di kelasnya. Padahal lebih banyak bolosnya daripada masuk pelajaran di kelas. Saat ada guru yang protes langsung kepadanya atas rangking yang dia peroleh, ”Kamu nyontek ya FATHIN?” Dengan enteng dia menjawab, ”Kan ibu tau, setiap ujian saya selalu duduk di meja paling depan. Bagaimana bisa saya mencontek?”. Hmmm.. gurunya pun tak bisa berkomentar lagi.
Tak dapat dipungkiri, sebagai ayah, aku sangat kecewa. Tak tau lagi harus berbuat apa. Kenapa anak ganteng dan pintarku ini tak kunjung dewasa. Sejujurnya aku tak tau apa sebenarnya yang membuat anak sulung kami ini bisa sampai berprilaku seperti itu. Sebagai orang tua, aku dan istriku sudah merasa maksimal mengajarkan semua hal-hal kebaikan kepadanya dan kepada ketiga adik-adiknya. Bila ada hal-hal penting yang perlu aku sampaikan, maka aku selalu mengumpulkan mereka berempat dalam satu pertemuan kecil. Disitu aku mengajarkan berbagai hal positif yang menurutku perlu mereka pahami dan ketahui. Sebagai ayah aku juga selalu menyampaikan secara khusus nasehat tentang tanggung jawab sebagai pria sejati kepadanya. Kepedulian kepada agama, orang tua, keluarga, lingkungan dan juga tentang menjaga persahabatan. Sedari kecil, aku dan istriku, berusaha menitipkan mereka di sekolah-sekolah terbaik. Semua anak kami sekolah di SDIT. Dan mulai menginjak jenjang SMP, mereka semua kami kirimkan ke pesantren. Agar semua anak-anak kami termasuk FATHIN mendapatkan bekal agama dan pengetahuan di tempat terbaik yang bermanfaat untuk kebaikan dunia dan akhirat mereka.
Kami juga sudah berusaha menjadi contoh tauladan bagi mereka. Di rumah, aku selalu mencontohkan disiplin sholat berjamaah ke masjid 5 waktu. Aku dan istriku juga tak pernah bicara yang keluar dari adab kesopanan yang berlaku. Rumah kami sejak dibangun sudah dipenuhi dengan aktifitas kebaikan, begitulah keseharian yang mereka lihat. Mereka tau ayah dan uminya adalah aktifis dakwah. Mereka juga tau sekali, bagaimana ayah dan uminya mencontohkan “birrul walidain” kepada kakek dan nenek mereka. Karena kami merawat kakek dan nenek mereka sekian lama di rumah dan saat di rumah sakit dengan penuh kesabaran. Mereka juga mengerti bahwa ayah dan uminya selalu mengirimkan uang bulanan untuk kakek dan neneknya. Untuk kepedulian kepada saudara, di rumah juga kami menerima budenya tinggal bersama kami. Mereka pun menyaksikan bagaimana kami orang tuanya selalu menjadi motor kebaikan di lingkungan. Termasuk juga mereka sudah terbiasa menyaksikan kedua orang tuanya menghiasi rumah dengan amal-amal kebaikan.
Yang aku herankan, di masa-masa penuh api tersebut, istri dan kedua anak perempuanku selalu optimis kepada anak sulungku ini. Sabar Yah.. insya Allah abang akan jadi anak yang baik. Ayah ingat gak kisahnya Uje. Abang FATHIN masih jauh lebih baik daripada Uje. Abang FATHIN gak narkoba, gak masuk penjara. Uje yang begitu aja sekarang bisa berubah. Malah bisa menjadi da’i yang bermanfaat bagi banyak orang. Saat itu, mendengar optimisme istri dan kedua adiknya, aku jadi lebih punya kesabaran tambahan. Kenapa aku tidak terus punya kesabaran lebih buat anak sulungku ini. Kenapa aku terlalu over thinking tentang masa depannya. Tanpa kusadari, kedekatanku dengan dua anak gadisku selama ini memberikan dampak positif untuk kebersamaan kami. Merekalah yang selalu menguatkanku. Memberikan tambahan kesabaran dan keyakinan.
Aku dan istriku selalu berdiskusi tentang bagaimana cara menyikapi anak surgaku ini. Kami bersepakat memainkan peran yang berbeda. Aku tau sekali, istriku selalu berlemah lembut kepada anak gantengku ini. Dia selalu penuh perhatian, selalu bersikap sabar layaknya seorang ibu kepada anak kesayangannya. Tak pernah aku saksikan istriku bersikap dan berkata kasar kepadanya. Bila dia tidak pulang lama dari kost-annya, maka pasti istriku mengajak kami sekeluarga untuk menjenguknya.
Setiap pulang ke rumah, istriku pasti selalu menyediakan makanan yang disukai olehnya. Selalu tak pernah bosan untuk terus membisiki nasehat baik ke telinganya. Seakan yakin, nasehat-nasehat dan semua sikap sabar serta perhatian yang diberikan suatu waktu nanti pasti akan ada manfaatnya. Begitupun dengan kedua adikperempuannya, tanpa sepengetahuanku, mereka selalu menjaga komunikasi dengan abangnya. Tetap memberikan perhatian dan tidak sering uang jajan mereka berdua diberikan kepada abangnya saat abangnya meminta. Tidak sekalipun aku melihat mereka bersikap tidak patut dan bicara jelek tentang abangnya. Mungkin inilah buah dari nasehat yang berulang kali aku sampaikan kepada mereka, untuk selalu setia kepada keluarga dan saudara. Agar jangan pernah berkhianat kepada keluarga dan saudara. Saling peduli dan saling menyayangi. Karena keluarga dan saudaralah yang paling bisa menjadi tempat kembali saat mereka lemah dan butuh bantuan.
Sebagai ayah, aku terus berfikir apa yang bisa aku lakukan untuk kebaikan masa depannya. Aku tak bisa melepas begitu saja apa yang akan terjadi terhadap kehidupannya. Sekitar dua tahun lalu, secara diam-diam aku berusaha meminta adikku agar bersedia menerima FATHIN tinggal bersamanya. Mengajarinya kerja dan mencobanya mencari peluang baru di Batam. Dengan kesepakatan, semua biaya selama dia tinggal disana aku yang akan meng-covernya. Alhamdulillah adikku setuju. Maka atas persetujuan FATHIN dan semua keluarga, berangkatlah FATHIN merantau ke Batam. Kami melepasnya dengan air mata haru dan harap. Disanalah cahaya terang itu ternyata hadir. Di perantauan, begitu kata banyak orang bercerita, cinta dan sayang orang tua akan terasa begitu besarnya. Secara rutin, aku terus mengikuti perkembangannya lewat adikku. Aku juga selalu menjaga komunikasi dengannya, dengan mengirimkan video-video motivasi yang kuperoleh dari berbagaisumber. Dengan pesan, ”Tonton ya nak.. nanti kita diskusikan.” Kemudian setelah beberapa waktu aku telfon dia untuk mendiskusikan tentang isi video tersebut.
Terkadang aku nelfon ke dia, sekedar menanyakan kabar pekerjaannya. Sambil memberikan beberapa tips penting yang aku anggap perlu untuk pekerjaannya. Disamping itu istriku pun selalu menyapanya hampir setiap hari, menanyakan kabar dan sekedar ngobrol melepas rindu. Untuk menguatkan hubungan dengan adik-adiknya, terkadang sengaja aku kirimkan uang ke FATHIN. Mengajaknya bersandiwara untuk mengirimkan kembali uang tersebut ke adiknya yang sedang membutuhkan uang, seolah-olah uang tersebut darinya. Namun yang tak aku duga, saat mengirimkan uang tersebut ke adiknya, tak pernah dia mengatakan itu darinya. Tapi dari urunan ayah, umi dan kakak-kakaknya.
Disini aku ingin mengajarkan kepada semua anak-anakku, bahwa kepedulian kepada saudara harus dibangun. Dibiasakan sejak dini, menjadi sesuatu yang ringan untuk dilakukan. Allah akan bersikap sebagaimana perasangka hambaNya. Kesabaran yang diikuti dengan sikap dan pikiran positif dari keluarga, pada akhirnya menampakkan pelangi indah di ujung hujan. Seperti yang aku sampaikan di atas tadi. Bang FATHIN “anak surgaku”, begitu aku menamainya di ponselku. Saat ini sedang menunjukkan pesona indahnya. Menentramkan hati kami semua keluarganya. Semua doa, harapan dan keyakinan yang sekian tahun dipanjatkan akhirnya berbuah indah. Tak kuat aku menahan air mata saat membaca japri dari adikku di Jogja.
“Abang, FATHIN tu baik banget. Perhatiaaaan banget sama Apip (sepupunya). Ada beberapa kali FATHIN WA apip, ada uang Pip? Aman bang, kata Apip. Tapi dikirim FATHIN juga uang buat Apip. Tadi malam tiba-tiba FATHIN kirim 500 ke Apip, 250 buat Apip, 250 titip buat kek Mat katanya (adik eyangnya yg sedang main ke Jogja). Elik sedang masak tadi malam, Apip datang ke dapur bilang bang FATHIN kirim uang mik. Langsung nangis Elik. Dia pun sedang nabung kan. Tapi bisa-bisanya ingat Apip dan Mang Mat. Kirimi uang. Elik langsung WA FATHIN, ucapin makasih. Haru banget Elik bang..!” Setelah dapat japrian tersebut, kemudian aku share di grup keluarga diikuti dengan ucapan, ”Terimakasih ya nak, sudah buat bangga ayah.” Kemudian aku tanya, “Kenapa abang melakukan itu? Kan abang juga sedang butuh uang?” Dengan spontan dia langsung membalas, ”Kan itu yang ayah ajarkan ke FATHIN, peduli dengan keluarga.”. FATHIN masih memulai langkah sadarnya. Masih panjang pastinya aral rintangan yang akan menguji keistiqomahannya. Namun aku yakin dengan kepeduliaan, kesabaran dan doa-doa kami keluarganya. Insya Allah dia akan menemukan jalan terangnya. Insya Allah dia akan tumbuh menjadi pejuang kebenaran. Tak ada akhir harapan untuk seorang anak. Sebesar apapun kesulitan dalam mendidiknya. Manusia itu bisa berubah. Tugas sebagai orang tua hanya memberikan cinta, perhatian, dukungan, doa dan bersabar dengan keyakinan. Setelahnya biarkan tangan Allah yang akan menyelesaikannya. Tetaplah ber-”suara positif”. Baik dalam kata maupun dalam hening doa. Kita tidak tau suara mana yang akan merubah hidupnya.
Sampaikan sebanyak-banyaknya..biarkan suara itu mengendap dalam alam bawah sadarnya. Kita yakin, suara positif itu suatu saat kelak akan bekerja menemukan caranya. Dengan dukungan keluarga, dengan keceriaan di dalamnya, dengan hubungan bathin yang kuat,dan dengan bertawaqqal.
Kepada yang Kuasa, maka semua ujian yang menerpanya, insya Allah akan dapat dilalui dengan akhir yang indah. Aamiin.
Semoga tulisan perdana ini.. yang ditulis karena paksaan sahabat-sahabat langitku, dapat bermanfaat buat yang membacanya. Mohon doanya agar anak kami Fathin dapat istiqomah dan bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya orang lain.
Penulis: Selamet Riyadi (Peserta Kegiatan “Menulis Esai oleh Ayah dan Calon Ayah” yang diselenggarakan oleh LBF)
You May Also Like

Wahai Akhwat, Jagalah Kesehatan Mental
31/08/2021
BELAJAR TANGGUH DARI KELUARGA NABI IBRAHIM AS
19/07/2021