Highlights

BELAJAR TANGGUH DARI KELUARGA NABI IBRAHIM AS

Oleh: Wikan Rusdi

Animals photo created by freepik – www.freepik.com

Pasangan suami istri yang menakjubkan akan melahirkan putra yang tak kalah menakjubkan.   Sekiranya Nabi Ibrahim AS lemah, tidak tega meninggalkan Hajar sendirian di bumi tandus yang lengang, maka cerita tentang heroiknya Hajar ketika mencari air untuk bayinya, Ismail tidak  tertoreh dalam sejarah.

Sekiranya pula Hajar wanita yang cengeng dan manja, bukan perempuan yang tangguh lagi beriman niscaya ia akan terdiam putus asa, mengisi waktu dengan  tangisan, menyalahkan nasib dan bisa jadi stres berkepanjangan. Bisa jadi pula tak ada cerita tentang sumur Zam-zam yang ajaib.

Perjuangan mereka bertiga; suami, istri dan seorang anak bermula dari sini.; ketangguhan mereka tertantang dari pesan besar untuk melakukan sebuah perjalanan jauh. Inilah episode awal dari segalanya. Untuk memulai sebuah perjalanan sejarah panjang, diperlukan modal utama; ketangguhan iman yang membuahkan ketaatan tanpa alasan.

Ibrahim AS diperintahkan Allah SWT melakukan perjalanan dari Kannan (Palestina) atau kemudian dinamakan sebagai wilayah Syam dengan membawa Hajar, istrinya yang berasal dari Mesir dan bayi merah yang baru dilahirkan, Ismail, ke lembah gersang yang bahkan belum terjamah tangan manusia dikelilingi gunung-gunung berbatu yang sepi.

Di suatu pagi, Ibrahim AS pamit meninggalkan Hajar dan Ismail untuk kembali ke negerinya. Hajar menangis dan bertanya, “Kenapa engkau tega meninggalkan kami?”

“Semoga Allah melindungi dan mengawasi kalian.”

“Wahai suamiku, kekasih Allah apakah ini perintah dari Tuhanmu?”

“Ya, karena aku tidak akan melakukan apa pun kecuali Tuhan memerintahkan kepadaku.” Hajar terdiam mendengarnya. Namun sisi manusiawinya masih menyela.

“Bagaimana dengan bayi kita? Bukankah ia anugerah untukmu setelah penantian lama?”

“Allah akan melindunginya dan menjadikan keturunannya kelak bangsa yang besar di wilayah tandus ini.”

“Jika begitu, aku yakin. Allah tidak akan menelantarkan kami.”

Begitulah, sebaris kalimat yang menghempaskan keraguan dan ketakutan di hati Hajar. Yakin, bahwa Allah tidak sekedar memerintahkan tapi sekaligus juga memberi jaminan, bahwa untuk setiap hambaNya yang taat Allah SWT tidak bakalan menelantarkan.

Perjuangan kedua selain harus memulai menjalani long distance relationship dari sang suami, adalah ketika Hajar dan Ismail diuji dengan kehausan dan kelaparan, sementara perbekalan habis dan  tak ada sumber mata air yang tersedia. Tangisan Ismail yang memekik menjadikan  Hajar akhirnya bolak-balik berjalan bahkan sampai 7 kali melewati Shafa dan Marwa hingga kelelahan dan kaki berdarah.  Ternyata ketika nyaris lemas dan mengharap kemurahan Tuhan, justru air itu muncul dari hentakan kaki Ismail. Rupanya Allah berkenan menurunkan rezeki bukan dari  tempat yang jauh-jauh dituju oleh Hajar, melainkan dengan cara tersendiri, justru dari kaki bayi Ismail yang lemah.

Demikian ujian kedua Hajar setelah ditinggal oleh suaminya untuk kembali berdakwah di kampung halaman.  Namun tidak ada pengorbanan dan perjuangan yang membuat Ibrahim dan Hajar nyaris goyah selain ujian yang ketiga yakni mempersembahkan nyawa sang anak atas perintah Allah.

Pada malam tanggal 8 Dzulhijjah Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih anaknya.

Nabi Ibrahim merasa ragu tentang kebenaran mimpinya.  Apakah benar mimpinya itu dari Allah sehingga menjadi suatu perintah atau  berasal dari syetan yang mengganggunya.  Sampai siang ia terus merenung. Itulah mengapa menurut para ulama, tanggal 8 Dzulhijjah disebut tarwiyah atau merenung, karena pada hari itu Nabi Ibrahim masih merenung penuh keraguan, benarkah itu  perintah Allah, atau jangan-jangan sekadar bisikan syetan?

Hingga malam tanggal 9 Dzulhijjah Nabi Ibrahim AS kembali bermimpi yang sama yakni menyembelih putranya, Ismail untuk kedua kalinya.  Mulai timbul keyakinan dalam hati Ibrahim bahwa perintah itu berasal dari Allah SWT. Tanggal ke-9 dinamai hari Arafah.  Arafah bermakna pemahaman atau pengetahuan.  Nabi Ibrahim mulai memahami kebenaran dan tujuan mimpinya.  Namun beliau belum melaksanakan.

Pada malam ke-10 Dzulhijjah  Nabi Ibrahim kembali bermimpi yang sama.  Maka esoknya tanggal 10 Dzulhijjah beliau memutuskan untuk melaksanakan mimpi tersebut setelah berdiskusi dengan  sang putra dan istrinya, Hajar.  Tanggal 10 Dzulhijjah disebut hari Nahar  yang berarti menyembelih.

Keraguan di hari tarwiyah yang dialami Nabi Ibrahim dapat dimengerti , bagaimana tidak, anak yang sudah cukup lama diharapkan kehadirannya tiba-tiba diminta Allah untuk disembelih.  Saat Ismail bayi, dia terpaksa dipindahkan bersama ibunya Siti Hajar dari Syam ke lembah gersang di Mekkah.  Kini setelah sekian lama dan baru dipertemukan kembali ketika Ismail sudah remaja, ada perintah seperti itu.  Mana mungkin anak yang selama ini dibesarkan oleh jerih payah ibunya yang berjuang sendiri membesarkannya tiba-tiba dia datang dan membawa pergi anak tersebut untuk disembelih.  Sungguh sebuah ujian yang sangat berat bagi Nabi Ibrahim.

Namun ketiganya adalah hamba-hamba yang taat yang menjadikan perintah Allah sebagai amanat.  Setelah mereka bertiga sepakat untuk melakukan penyembelihan atas nama ketaatan kepada Allah SWT,  berjalanlah mereka menuju suatu bukit batu yang disebut Jabal Qurbati (Bukit Kurban).

Dalam perjalanan itu,, tak henti-hentinya iblis selalu menggoda dan membujuk mereka untuk tak melaksanakan.  Iblis mempengaruhi Ibrahim tak mempan, menggoda Ismail takberdaya, dan terakhir berusaha membujuk-bujuk hati Hajar, sang Ibu agar menggagalkan perintah yang menyedihkan itu tapi ketangguhan Hajar mengalahkan jiwa perempuannya yang lembut.  Ia memilih untuk teguh dalam ketaatan.

Mereka melempar iblis tersebut dengan batu di tiga tempat.  Ketiga aktivitas melempar di tiga tempat  itulah yang kemudian disebut jumrah Aqobah, Wustha dan Ula.  Peristiwa besar itu Allah abadikan dalam Al Quran surat Ash-Shaffat ayat 100-111.

Ketiganya Nabi Ibrahim , Ismail dan Hajar sungguhlah manusia-manusia pilihan yang amat patuh dan taat kepada perintah Allah,meskipun perintah itu amat berat.  Dalam ujian itu mereka lulus dengan sempurna .

Ujian demi ujian terlewati tapi keluarga Nabi Ibrahim selaku pengemban risalah dakwah tetap harus berjuang keras untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Ya, tugas kenabian bersifat terus menerus. Hajar sebagai istri beliau tetap mendampingi dengan setia meski kadang harus berjauhan.  Hajar merawat Ismail dengan penuh cinta kasih, membesarkan dan menyiapkannya menjadi pribadi yang saleh dan taat. Mereka hidup berdampingan dengan para pendatang baru di lembah itu.  Sumur zam-zam bagaikan magnet yang menyedot para musafir untuk berkunjung ke lembah yang tadinya kering dan tandus. Itulah cikal bakal Kota Mekkah yang diberkahi.

Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membangun rumah-Nya atau Baitullah di lembah tandus itu.. Perintah itu pun disambut oleh Ismail yang sudah dewasa.  Ia membantu sang ayah mendirikan Ka’bah tak jauh dari sumur Zam-zam. Ismail menyiapkan batu, sedangkan Ibrahim yang membangun.  Ketika bangunan semakin tinggi, Ismail membawa batu tersebut menjadi pijakan Ibrahim ketika membangun dinding bagian atas, sedangkan Ismail menyodorkan batu dari bawah.

Ketika Nabi Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail mereka berdua berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, terimalah amalan kami.  Sesungguhnya Engkau adalah Maha mendengar dan Maha mengetahui.

Setelah Ka’bah berdiri, Nabi ibrahim AS diseru oleh Allah untuk mengumumkan kepada penduduk agar mengerjakan haji.  Nabi Ibrahim pun naik ke bukit dan menyerukan ajakan haji. Beliau menyerukan dengan suara lantang agar penduduk dari segala penjuru mau datang ke rumah Allah yang telah ia dirikan.

Setiap ia berseru terdengar jawaban suara:”labbaik..Allahumma labbaik, labbaik laa syarika laka labbaik, innal hamda wa ni’mata laka wal mulku..laa syarikalak yang artinya, Aku menyambut seruan-Mu ya Allah, Aku menjawab seruan-Mu dan aku taat pada perintah-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu aku menjawab seruan-Mu.  Segala puji dan nikmat karunia adalah milik-Mu, kerajaan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu.

Nabi Ibrahim AS pun berdoa memohon diajarkan cara-cara melakukan ibadah haji, juga terlantun doa harapan ke depan agar dari Tanah Mekkah tersebut akan lahir seorang Rasul yang berasal dari kampung Mekkah sendiri.

“Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka.  Sungguh Engkaulah Yang maha Perkasa Maha Bijaksana.” (QS.2;129)

Rasulullah SAW bersabda: “Aku adalah doa Ibrahim dan yang diberitakan sebagai berita gembira oleh Isa”.  (HR. Ahmad).

Allah menjawab doa Nabi Ibrahim dengan mengutus Malaikat Jibril untuk mengajari manasik haji mulai dari berjalan ke Mina pada hari tarwiyah, kemudian pergi ke Arafah saat matahari terbit untuk melaksanakan wukuf, pergi ke Muzdalifah dan kembali ke Mina untuk melempar batu ke arah setan, kemudian menyembelih kurban dan kembali ke Baitullah  untuk melaksanakan thawaf 7 kali lalu sa’i sebanyak 7 kali antara shafa dan Marwa. Betapa bahagianya Hajar, karena sepotong kisah hidupnya diabadikan dalam ritual ibadah kepada Allah.  Sungguh besar apresiasi dan penghargaan Allah kepadanya.

Doa Nabi Ibrahim adalah doa penuh visi jauh ke depan.  Harapan akan lahirnya seorang Rasul yang akan menjadi pemimpin bagi kaumnya sendiri sekaligus rahmat bagi seluruh alam jazirah tandus itu dikabulkan Allah.  Itulah dia, kelahiran Rasulullah SAW yang merupakan penduduk asli Mekkah.

Nabi Ibrahim pun kembali ke kampung halamannya di Palestina sedangkan Nabi Ismail AS menetap di Mekkah sembari melanjutkan misi dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah kenabian yang juga diajarkan oleh ayahnya. Nabi Ibrahim dan Hajar telah berhasil mendidik dan menyiapkan generasi sesudahnya  untuk berjuang di jalan Allah setelah melewati masa-masa penuh perjuangan dan pengorbanan.

Riwayat perjalanan Nabi Ibrahim bersama keluarganya bukan sekadar kisah.  Ia menorehkan sikap keteladanan yang bisa dicontoh pengikutnya sepanjang zaman.

Pertama, bahwa hidup adalah menjalankan skenario Allah yang dipilihkan dan ditunjukkan.  Yang harus dilakukan manusia hanyalah taat dan patuh.  Ketika Nabi Ibrahim diminta membawa anak istrinya pergi ke tempat yang jauh, gersang dan asing, mereka mengerjakannya tanpa alasan.  Di sinilah para muslimah bisa mencontoh ketangguhan Hajar sebagai perempuan salihat sekaligus istri yang qanitat. Ia mentaati suaminya dalam rangka mentaati Allah dengan menanggalkan segala hal yang biasa melekat pada perempuan; ketakutan, kesedihan,ingin perhatian lebih dan lainnya.

Kedua, lewat karakter tangguh Hajar dalam mempertahankan hidup putranya yang haus tersirat sebuah pesan mendalam, bahwasanya ikhtiar dengan cara dan model apa pun  sesuai kemampuan adalah sebuah kewajiban sekaligus prasyarat untuk datangnya pertolongan meski mungkin tidak linier. Bayangkan, Hajar meninggalkan Ismail terbaring di tanah.  Dengan kaki letih ia berlari bolak balik, ke tempat yang jauh dan bukit yang tinggi tak tahunya justru sumber air zam zam berada dekat dari sang jabang bayi.

Pertanyaannya,  apakah mungkin air akan mengumpul tanpa kerja keras Hajar ke sana kemari? Apakah Ismail akan menghentakkan kakinya jika Hajar hanya diam terpaku menggendongnya? Tentu saja akan berbeda cerita.  Lalu apa pula air zam zam akan keluar tanpa sebuah keyakinan besar akan datangnya pertolongan Allah? Ikhtiar dan doa adalah dua senjata penting bagi seorang muslim muslimah untuk bertahan dalam kehidupan yang diridhoi-Nya.

Allah memilih Hajar, sosok wanita dan ibu untuk menjadi sebaik-baik contoh bagi para muslimah. Ketika ia tanpa pendamping di sisi, sesungguhnya sumber kekuatan adalah dari dirinya sendiri dan doa yang teguh kepada Allah.  Ini benar-benar contoh konkret bahwa muslimah harus memiliki karakter yang kuat, hanya menggantungkan nasib dan kondisinya kepada Allah, bukan kepada pendamping hatta sudah berkeluarga.  Banyak sekali di zaman sekarang para istri terlalu menggantungkan hidupnya kepada sang suami yang menyebabkan mereka tidak berdaya, padahal yang dimaksud taat kepada suami bukan berarti  segala hal mengandalkannya.  Seorang istri tetap harus menjadikan Allah sebagai sandaran utama. Ketaatan dan kecintaannya kepada suaminya merupakan jalan untuk mendapatkan kasih sayang Allah.

Hajar bukan hanya menyelamatkan dirinya tapi yang utama jiwa anaknya.  Seorang ibu akan senantiasa mengusahakan yang terbaik untuk anaknya, tapi yang tak kalah penting menyiapkan dan menjadikan anaknya pribadi yang tangguh dan saleh meski karena kondisi ia harus merawatnya sendiri.

Ketiga, keluarga adalah satu kesatuan jiwa dan langkah.  Bagaimana Nabi Ibrahim dalam menjalankan tugas dan perintah Allah senantiasa melibatkan keluarganya, tidak berjalan sendiri.  Ia ajak Hajar untuk bicara dari hati ke hati ketika perintah mengorbankan Ismail datang, ia juga mengajak Ismail bahu membahu membangun baitullah hingga Ka’bah pun berdiri. Ia ajak anak dan istrinya, juga masyarakat sekitar untuk melaksanakan sebuah ibadah baru, yakni menunaikan perintah haji. Tentu di awal mula perintah, ini bukan sesuatu yang mudah. Ibadah haji adalah sebuah ibadah yang diwariskan Nabi Ibrahim untuk umatnya.

Semoga kita semua bisa meneladani ketangguhan keluarga Nabi Ibrahim AS dalam ketaatan dan perjuangannya di jalan Allah. Amiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *