Muslimah dan New Normal
Oleh: Yayah Arfiah, Lc.
Setiap muslim pasti menyadari bahwa terjadinya pandemi dalam waktu yang lama sudah seharusnya diyakini bahwa ini semua terjadi dengan izin Allah, sebagai musibah, ujian, dan teguran sayangnya Allah untuk kita semua.
Yakin bahwa ini adalah ketetapan Allah yang akan menjadikan kita bersabar menghadapi pandemi ini, sambil terus berupaya keras dan maksimal menjalani semua aktivitas-aktivitas kita, melaksanakan peran-peran kita dengan baik sebagai ibu, istri, anak, ataupun bagian dari masyarakat, walaupun saat ini sebagian besar aktivitas kita lakukan di rumah dengan tetap memperhatikan kesehatan diri dan keluarga kita. Kita yakin, bahwa banyak sekali hikmah yang Allah berikan bagi kita atas kejadian ini.
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Keimanan terhadap qadha akan berpengaruh positif terhadap aktivitas manusia dalam keadaaan apa pun. Keyakinan tersebut akan mendorongnya untuk melakukan aktivitas yg positif, bukan malah menjadikannya pasif, fatalis, pasrah dan menyerah kalah . Karena selama sebab-sebab yang menghantarkan terhadap tujuan itu masih berada dalam lingkaran yang dikuasainya, dia masih bisa untuk mengupayakannya. Dalam era new normal ini , at-ta’ayusy atau hidup berdampingan (bukan berdamai) dengan Covid-19. mendorong kita berkomitmen untuk mempunyai sikap kehati-hatian di semua sektor kehidupan dengan meletakkan protokol kesehatan di atas segalanya, sebab menurut para ahli epidemi corona akan tetap eksis dalam kehidupan kita. Terlepas dari berbagai polemik tentang istilah new normal, sesungguhnya Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu telah memberi petunjuk yg bisa menjadi rujukan dalam menghadapi kondisi wabah yang sedang menerpa, diantaranya menerapkan protokol kesehatan dalam semua aktifitas kita.
Beberapa prinsip dari petunjuk Nabi SAW yang berhubungan dengan perilaku dan etika pergaulan sehari-hari antara lain sebagai berikut.
1. Prinsip menghindari/ menolak bahaya.
Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan al-Khudri RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan yang bisa membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah, No 2340 dan 2341
Al-Khasyani mengartikan dharar itu perbuatan yang menguntungkan diri pribadi, tetapi mencelakakan orang lain, sedangkan dhirar adalah perbuatan yang yang tidak menguntungkan kepada diri pribadi, tetapi bisa membahayakan orang lain. Ibnu ‘Utsaimin mengartikan dharar itu perbuatan yang membahayakan tanpa disengaja, sedangkan dhirar adalah perbuatan yang membahayakan yang direncanakan. Dalam salah satu qaidah fiqih disebutkan:
menghindarkan kerusakan/kerugian diutamakan atas upaya mendatangkan keuntungan/ kebaikan . Artinya konsep mencegah harus menyeluruh dalam semua aspek.
2. Prinsip thoharoh
Kesucian itu sebagian dari keimanan. (HR Muslim)
Bersuci (thaharah) merupakan bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan diri yang mencakup kebersihan lahir dan batin. Kedudukan bersuci dalam Islam hukumnya wajib, diantaranya seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis. Firman Allah: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri (Al Baqarah 2:222). Selain dalam wudlu, thoharoh juga dianjurkan utk menjaga kesehatan secara keseluruhan dengan mengamalkan sunnah2 fitrah seperti bersiwak, mencuci tangan, memotong kuku, menutup bejana dan lain sebagainya.
3. Prinsip maqosid syariah ( tujuan syariat )
Menjalankan syariat Islam bagi seorang hamba semata utk menyatakan kepasrahan dan pengabdian secara totalitas, namun bagi Allah itu bukanlah suatu kebutuhan, bukan pula utk memberi beban yang memberatkan, namun semata mata untuk mewujudkan keselamatan dan kemaslahatan makhlukNya, yg dikenal dengan
Terdapat 5 tujuan pokok yg dapat terwujud:
a. Memelihara agama (hifdzud diin) Agama merupakan kebutuhan bagi jiwa manusia, yang dapat menghidupkannya, menyehatkan dan mengokohkannya, tanpa jiwa yg kuat manusia hanya akan menjadi robot nafsu.
b. Memelihara jiwa (hifdzun nafs). Umat Islam berkewajiban untuk menjaga diri sendiri dan orang lain. Sehingga tidak saling melukai atau melakukan pembunuhan antar sesama manusia.
c.Memelihara keturunan atau hifdzun nasl. Umat Islam berkewajiban untuk menjaga keturunan sehingga jelas nasabnya, hal yang membedakannya dengan kehidupan hewan
d. Memelihara harta atau hifdzul maal. Umat Islam diharuskan untuk memelihara hartanya melalui kasab atau usaha yang halal. Sehingga harta yang diperolehnya menjadi berkah dalam kehidupannya dan mendapat ridho dari Allah SWT.
e. Memelihara akal atau hifdzul aql. Umat Islam diharuskan menjaga akal yang sehat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga umat Islam diwajibkan untuk mencari ilmu dan pengetahuan untuk mendapatkan wawasan yang cukup.
Dengan 3 prinsip di atas, diharapkan kita dapat konsisten dalam melakukan hal yang semestinya, beraktifitas dengan selalu menjaga norma dan aturan yang berlaku, karena Allah mencintai seseorang yang mengerjakan sesuatu secara itqon ( baik dan benar) Bisa jadi Covid-19 adalah tentara-tentara Allah yang diturunkan dari langit untuk menyadarkan manusia agar kembali kepada-Nya.
Wallaahu a’lam bisshowaab.
(Penulis adalah alumni Univ Ibnu Suud Madinah).