Religi

Hijrah Momentum Awal Kemerdekaan

Oleh : Agustini

Poster vector created by YusufSangdes – www.freepik.com

Bulan ini menjadi bulan yang bersejarah untuk Bangsa Indonesia dan untuk umat Islam Indonesia. Kemerdekaan Indonesia dan tahun baru Hijriah. Tahun baru Hijriah merupakan peristiwa penting dalam sejarah Islam. Dimana 1 Muharam merupakan sebuah peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya dari Mekkah ke Madinah. Hijrah merupakan peristiwa yang bukan merupakan keputusan pribadi Nabi SAW. Hijrah adalah perintah Allah SWT. Dalam peristiwa tersebut terkandung 2 makna yakni hijrah secara tempat dan hijrah secara maknawi. Hijrah secara tempat, dari suatu tempat ke tempat lain. Apa yang dicari? Kebebasan. Kemerdekaan. Kebebasan menjalankan perintah Allah SWT agar Islam tegak di muka Bumi. Agar Islam menjadi Rahmatan Lil ‘alamin. Secara maknawi, hijrah mengandung arti perubahan dari keburukan menjadi kebaikan. Juga kebebasan dan kemerdekaan manusia dari penyembahan manusia kepada sesama makhluk-Nya, menuju penyembahan pada Allah semata (Yusuf Qorodhowi). Ketika kita berhijrah, maka sesungguhnya kita sedang mengupayakan kemerdekaan diri kita, agar tidak lagi takut pada selain-Nya.

 

Dalam shiroh tertulis bagaimana Nabi Muhammad SAW menjadikan momentum hijrah menjadi sebuah proklamasi kemerdekaannya. Merdeka dan bebas untuk melepaskan belenggu kejahiliyyahan dan penyembahan makhluk Allah. Oleh sebab itu, jauh sebelum Nabi SAW menentukan hijrahnya ke kota Madinah, hijrah pernah dilaksanakan ke Habasyah.

 

Ada sebuah kisah tentang bagaimana heroiknya anak muda bernama Ja’far bin Abi Thalib r.a., beliau menjadi juru bicara kaum Muhajirin ke Habasyah. Kisah anak muda ini sangat fenomenal. Beliau yang masih muda, mampu melakukan diplomasi yang sukses biidznillah mampu melunakkan hati raja Najasyi sehingga ia masuk Islam. Ia sama sekali tidak terpengaruh oleh provokasi yang dilakukan oleh utusan kafir Quraisy yaitu Amr bin Ash (sebelum beliau masuk Islam). Padahal utusan Quraisy itu membawa banyak hadiah untuk Raja Najasyi.

 

Inilah penggalan kisahnya yang ditulis Ibnu Hisyam.

 

Dari Ummu Salamah r.a., ia berkata, “Setelah kami berada di Habasyah, kami mendapatkan suaka yang sangat baik dari Najasyi. Kondisi seperti ini sampai kepada orang-orang Quraisy, maka mereka mengirimkan dua utusan andalannya yaitu Abdullah bin Abi Rabiah r.a. dan Amar bin Ash r.a.. Dua utusan itu membawa banyak hadiah. Kemudian mereka menghadap Najasyi lalu melakukan provokasinya, “Wahai tuan, sesungguhnya telah meminta suaka ke negeri tuan adalah anak-anak muda yang tidak punya perhitungan. Mereka meninggalkan agama mereka dan tidak memasuki agama tuan. Mereka datang membawa agama baru yang kami tidak mengenalnya begitu juga tuan.”

 

Saat kaum Muhajirin menghadap raja Najasyi, majulah Ja’far bin Abi Thalib r.a.. Ia menjawab dengan penuh keyakinan. “Wahai tuan Raja, kami dulu adalah kaum jahiliyah, menyembah patung,  makan bangkai, melakukan zina, memutus silaturahim, berbuat buruk pada tetangga, yang kuat memakan yang lemah. Kondisi kami terus begitu sampai akhirnya Allah SWT mengutus kepada kami seorang Rasul SAW dari kami. Kami mengetahui nasabnya, kejujurannya, kebersihannya. Rasul SAW itu mengajak kami untuk mengesakan Allah SWT, menyembahNya, meninggalkan secara total sembahan nenek moyang kami, menyuruh kami berbicara jujur, menunaikan amanah, menyambung silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, menahan diri dari segala yang haram dan dari pertumpahan darah, mencegah kami dari berzina, berkata dusta,  dan seterusnya. Lalu kami beriman kepadanya dan kami mengikutinya. Namun, kaum kami menyiksa kami dan memfitnah kami agar kami kembali kepada agama semula. Karenanya kami meminta suaka kepada tuan. Lalu Ja’far r.a. membacakan Alqur’an surah Maryam dan Najasyi pun masuk Islam. 

 

Sungguh diplomasi yang luar biasa. Oleh pemuda yang telah dididik dengan ajaran Islam. Kemerdekaannya untuk memeluk agama Islam yang merupakan  agama yang membebaskannya dari belenggu kejahiliyahan.

 

Kisah lainnya adalah seorang pemuda Ali bin Abi Thalib r.a, yang merelakan dirinya menggantikan posisi Rasulullah SAW untuk menempati tempat tidur Beliau, untuk mengecoh para pengepung rumah Rasulullah SAW yang akan membunuh Rasulullah. Taruhannya nyawa. Tapi Ali bin abi Thalib r.a. tidak gentar sedikit pun.

 

Demikianlah sekelumit kisah hijrah Nabi SAW dari Mekkah ke Habasyah kemudian dari Mekkah ke Madinah. Bila kita renungkan semuanya dalam rangka untuk menjalankan kebebasan beragama yang lurus. Kemerdekaan yang juga kita sudah raih boleh jadi hanya berupa sebutan saja bila tidak ada keinginan untuk merdeka dari perbudakan sesama makhluk-Nya. Semestinya kemerdekaan ini membawa seluruh kebaikan bagi dirinya, keluarganya dan tentu saja negaranya.

Karena sejatinya merdeka adalah menjadi pribadi yang lurus, tunduk dan patuh kepada Allah semata. Wallahu ‘alam.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *