MENJAGA KESEHATAN MENTAL MENURUT AL QURAN DAN HADIST
Keadaan saat ini berada pada era yang disebut dengan globalisasi, yaitu kondisi dimana manusia hidup tanpa sekat dan batas-batas wilayah dan dapat berhubungan satu sama lain untuk bertukar informasi di mana pun dan kapan pun. Proses globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat, berdampak pada beberapa aspek kehidupan terutama pada budaya masyarakat dan nilai-nilai sosial yang berlaku didalamnya.
Persaingan dunia industri barang dan jasa ternyata berimplikasi pada aspek-aspek kejiwaan masyarakat berupa agresifitas, emosi yang tidak terkendali, ketidakmatangan kepribadian, depresi karena tekanan kehidupan, tingkat kecurigaan yang meningkat, dan persaingan yang tidak sehat hingga menyebabkan tingginya angka bunuh diri (Febriana, 2011).
Kesehatan mental merupakan masalah serius dan membutuhkan perhatian. Selama beradab-abad, depresi dan masalah kesehatan mental lainnya tidak pernah secara terang-terangan dibicarakan. Apalagi membicarakan bagaimana menjaga kesehatan mental? Tak pernah ada. Bahkan, di lingkaran terdekat seperti keluarga, kesehatan mental justru menjadi sesuatu yang tabu. Padahal faktanya, di dalam Islam kesehatan mental tak pernah dianggap tabu, tapi menjadi penting!
Dalam pandangan Islam tentu memahami manusia dengan benar tidak hanya dengan memperhatikan dimensi biologisnya atau keadaan sosial dan budaya yang menyertainya, akan tetapi menuntut adanya integrasi seluruh faktor pembentuk kepribadian termasuk di dalamnya dimensi spritual. Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam memberikan petunjuk dan bimbingan bagi manusia dalam menjaga fitrahnya untuk meraih kebahagiaan yang hakiki. Al-Quran memperkenalkan istilah jiwa yang tenang (an-nafsu al-muthmainnah), sementara Al-hadits menyebut kata al-fithrah, keduanya adalah syarat bagi kesehatan mental yang harus dimiliki seorang muslim. Hidup dengan jiwa yang tenang harus berdasarkan fitrah yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu Wata‟ala yaitu akidah tauhid.
Teori-teori psikologi dari Al Qur‟an dan hadits tentang bagaimana menjaga kesehatan mental dikemukan oleh Musthafa Fahmi (1977), kesehatan mental mempunyai pengertian dan batasan yang banyak. Ia mengemukakan dua pengertian; Pengertian Ikhwan Fuad dalam Journal An-nafs: Kajian dan Penelitian Psikologi pertama, mengatakan kesehatan jiwa adalah bebas dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Pengertian ini banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (psikiatri).
Pengertian kedua dari kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak terbatas; ia berhubungan dengan kemampuan orang untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang sunyi dari kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya dan tidak terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian sosial, dia juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi ia berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan pikiran dalam berbagai lapangan dan di bawah pengaruh semua keadaan.
Zakiah Daradjat (1983) mengemukakan : Apakah kita termasuk yang sehat mentalnya? Inilah beberapa ciri-ciri utama orang yang sehat mentalnya
1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat mengenal diri sendiri dengan baik.
2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.
4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.
5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati dan kepekaan sosial.
Adapun Utsman Najati (2003), seorang pakar psikologi Islam mengutip Kajian dan Penelitian Psikologi Sementara dalam pandangan psikologi Islam, penyakit mental yang biasa berjangkit pada diri manusia, antara lain:
1. Riya’. Penyakit ini mengandung tipuan, sebab menyatakan sesuatu yang tidak sebenarnya, orang yang berbuat riya’ mengatakan atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya.
2. Hasad dan dengki, yaitu suatu sikap yang melahirkan sakit hati apabila orang lain mendapat kesenangan dan kemuliaan, dan ingin agar kesenangan dan kemulian itu hilang dari orang tersebut dan beralih kepada dirinya.
3. Rakus, yaitu keinginan yang berlebihan untuk makan.
4. Was-was. Penyakit ini sebagai akibat dari bisikan hati, citacita, dan angan-angan dalam nafsunya dan kelezatan.
5. Berbicara berlebihan. Keinginan berbicara banyak merupakan salah satu kwalitas manusia yang paling merusak. Hal ini dapat mengahantarkan kepada pembicaraan yang tidak berguna dan berbohong. Dan lain sebagainya (Langgulung, 1986).
Metode Al-Qur‟an dan Al Hadits dalam Merealisasikan Kesehatan Mental Kesehatan mental lahir dari kepribadian yang mantap. Semua indikator kepribadian yang mantap tersebut ada pada kepribadian Rasulullah SAW. Beliau adalah sosok yang mampu menyeimbangkan antara dimensi-dimensi kehidupan yang ada, sehingga Allah memujinya sebagai pribadi yang agung akhlaknya. Allah berfirman: “Dan Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS. Al-Qolam:4)
Rasulullah adalah prototipe ideal untuk annafsu al muthmainnah yang memiliki indikator kesehatan mental level tinggi. Al-Qur‟an dan Sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam memiliki metode yang khas dalam merealisasikan kesehatan mental dilengkapi dengan model nyata dari Rasulullah SAW menjadi sebuah panduan lengkap bagi umat Islam dan manusia secara umum. Hal ini berbeda dengan pemikiran psikologi lain yang lebih bersifat teoritis karena tidak disertai model yang merealisasikan teori-teori tersebut.
Menurut Quraish Shihab (2003) Islam telah menetapkan menjaga Kesehatan Mental Vol. 1 No. 1 Juni 2016. tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.
Adapun metode Al-Qur‟an dan Al-Hadits dalam merealisasikan kesehatan mental jika disimpulkan dari nash-nash yang umum maupun yang khusus tentang kesehatan mental meliputi
1. Metode Penguatan Dimensi Spiritual Untuk memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa yang hakiki, Islam sejak awal mengajak manusia kepada iman dan mentauhidkan Allah. Sebagaimana firman Allah: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orangorang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-An‟aam: 82). Rasulullah SAW mengajak manusia untuk beriman dan mentauhidkan Allah selama 13 tahun sebelum mengajak mereka untuk melaksanakan syariat. Iman yang tertanam kuat di dalam hati dapat menghadirkan rasa lapang dada, ridha dan bahagia dalam diri sesesorang. Dia akan merasa dalam perlindungan dan penjagaan Allah serta dibimbing hidupnya sehingga membuannya menjadi tenang dan dicintai banyak orang. Allah berfirman:”(yaitu) orangorang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dan Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra‟d : 28).
Metode penguatan dimensi spiritual juga dilakukan Nabi dengan membimbing sahabatnya untuk mengarahkan tujuan hidupnya untuk akhirat. Nabi bersabda: Barang siapa akhirat menjadi tujuan hidupnya, maka Allah akan meletakkan rasa kecukupan di dalam hatinya dan mengumpulkan segala sesuatu yang terserak untuk dirinya. Dia pun akan dihampiri dunia sementara dunia sendiri merupakan sesuatu yang hina. Barang siapa dunia menjadi tujuannya maka Allah akan menjadikan kefakiran berada di depan pelupuk matanya dan menjadikan sesuatu yang telah terkumpul menjadi tercerai-berai dari dirinya.
Dia tidak akan dihampiri dunia kecuali hanya yang telah ditakdirkan untuknya. Maka dia tidak akan dijuluki kecuali sebagai seorang yang fakir dan memang akan menjadi fakir. Seorang hamba tidak akan menghadap Allah kecuali Allah akan menjadikan hati orang-orang mukmin tunduk kepadanya dengan rasa cinta dan sayang. Allah lebih cepat darinya untuk melakukan segala sesuatu yang baik. (HR. AtTirmidzi).
Ketika keimanan telah mantap dan tujuan hidup terarah menuju Allah, penguatan dimensi spiritual dilakukan dengan membebankan syariat. Praktik-praktik ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji merupakan upaya pendidikan untuk membentuk kepribadian manusia. Ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi membersihkan jiwa dan mengajarkan sifat-sifat terpuji yang mampu membuatnya bertahan dalam menghadapi kenyataan hidup.
Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk meminta pertolongan kepada-Nya dengan sabar dan salat, sedangkan itu tidak akan mempu dicapai kecuali oleh orang-orang yang khusyu‟. (QS. AlBaqarah: 45 dan 153). Orang terbiasa melakukan ibadah-ibadah yang disyariatkan akan terlatih untuk sabar menanggung beban, mengokohkan tekad menciptakan rasa cinta dan berbuat baik kepada orang lain, serta memupuk spirit untuk melakukan interaksi sosial.
Ketika orang-orang yang mengalami tekanan, pengalaman emosional yang buruk, pertarungan bathin yang menyebabkannya menderita
ibadah-ibadah di dalam Islam dapat berfungsi sebagai media psikoterapi yang mujarab.
A. Psikoterapi Melalui Shalat
Ritual shalat memiliki pengaruh yang sangat luar biasa untuk terapi rasa galau dan gundah. Dengan mengerjakan shalat secara khusyuk akan menghadirkan rasa tenang, tentram dan damai. Rasulullah SAW senantiasa mengerjakan shalat ketika ditimpa masalah yang membuat dirinya menjadi tegang. Diriwayatkan oleh Hudzaifah RA bahwa ia berkata; “Jika Nabi Shallallahu „Alaihi Wasallam merasa gundah karena sebuah perkara, maka beliau menunaikan shalat (HR. Abu Dawud) Hal ini tentu mengisyaratkan pentingnya ritual shalat untuk menciptakan rasa tenang dan tentram pada jiwa seseorang. Allah memerintahkan hambanya untuk meminta pertolongan dengan sabar dan shalat dikarenakan Allah akan menguji mereka dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan kekurang bahan pangan. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh,
Allah beserta orang-orang yang sabar. Dan Firman-Nya: “Dan Kami pasti akan Menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS. Al Baqarah: 153 dan 155). Ketika dalam keadaan shock atau ketakutan tubuh dipaksa mengeluarkan reaksi biologis seperti mengeluarkan hormon andrenalin sebagai persiapan untuk menghadapi kondisi tertentu. Hal itu dapat memicu perubahan jiwa dan pikiran karena kondisi susunan syarat terpengaruh dan keadaan kelenjar endokrin yang reaktif (Salim, 2009).
B. Psikoterapi melalui Puasa
Dalam ibadah puasa terdapat unsur latihan bagi seseorang untuk bersabar menanggung beban berat kehidupan seperti menahan rasa haus dan lapar, menahan marah serta menahan untuk berbuat yang tidak baik. Dalam sudut sosial, ketika seseorang menahan lapar dan dahaga maka ia akan ikut merasakan penderitaan kaum fakir miskin yang sering kali tidak bisa mengkonsumsi makanan. Rasa empati yang timbul akan mendorong seseorang yang berpuasa mengasihi saudaranya yang bernasib kurang baik secara eknomi. Puasa berguna untuk mengobati perasaan berdosa dan menghilangkan kegundahan. Rasulullah dalam sabdanya: “Barang siapa yang menunaikan puasa ramadhan dilandasi dengna iman dan ikhlas mengharap ridha Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa‟i dan Imam Ahmad).
C Psikoterapi Melalui Ibadah Haji
Ritual ibadah haji seperti thawaf, wujuf, sa‟i dan melempar jumrah merupakan kegiatan yang sarat makna. Thawaf dan wukuf di arafah menjadi media meditasi untuk merenungi perbuatan masa lampau yang menjauhkan diri dari Allah swt dan memahami lebih dalam hakikat tujuan hidup. Perjalanan Shafa dan Marwah bermakna perjuangan spiritualitas diri untuk bertarung melawan hawa nafsu. Melempar Jumrah „Aqabah mengisyaratkan melempar semua sifat kejahiliahan seperti kemunafikan, kedustaan dan keduniawian. Hal itu adalah gambaran dari kisah perjuangan Nabi Ibrahim yang mengorbankan apa yang dicintai untuk meraih ridha dan kasih sayang-Nya (Suharto, 2002).
Menunaikan ibadah haji dapat melatih kesabaran, melatih jiwa untuk berjuang, serta mengontrol syahwat dan hawa nafsu. Ibadah haji menjadi terapi atas kesombongan, arogansi, dan berbangga diri sebab dalam praktek ibadah haji kedudukan semua manusia sama. Permohonan ampunan dan ditambah suasana yang dipenuhi lantunan Ilahi membuat suasana ibadah haji sarat dengan nilai spiritualitas yang dapat mengobarkan rasa semangat yang tinggi untuk meraih ketenangan (Najati, 2003). Selain itu, ibadah haji dapat melebur dosa melalui sabdanya: “Antara umrah sampai umrah berikutnya dapat melebur dosa-dosa yang ada di antara keduannya, dan haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga (HR. Al Bukhari dan Muslim).
D. Psikoterapi Melalui Dzikir dan Doa
Dzikir dan doa adalah ibadah yang utama dalam Islam bahkan menjadi intinya. Dzikir yang dilakukan akan membuat hati dan jiwa menjadi tenang. Rasulullah mengajari para sahabat untuk senantiasa berdzikir dan berdoa untuk memperkuat hubungannya dengan Allah, dan mendekatkan diri kepada-Nya setiap saat. Dengan berdoa seorang hamba dapat mengungkapkan isi hatinya dan mencurahkan kegundahannya, mengadu kepada sang pencipta. Hal ini akan memberi efek ketenangan disebabkan keyakinan bahwa Allah akan membantunya keluar dari permasalahan. Allah berfirman: “Dan Tuhan-mu Berfirman, ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku Perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang – orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al Ghafir: 60). Metode penguatan dimensi spiritual dilakukan melalui tiga tahapan yaitu menanamkan iman dan tauhid, mengarahkan tujuan hidup dan melaksankan ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam agama. Jika tahapan-tahapan ini mampu dilaksanakan dengan baik maka kepribadian yang mantap akan terbentuk dan pada akhirnya mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dan kesehatan mental bahkan mampu mengembangkan potensi diri secara optimal.
2. Metode Pengendalian Motivasi Biologis ,besarnya perhatian Islam kepada penguatan dimensi spiritual, bukan berarti mengabaikan dimensi biologis. Islam memiliki ajaran yang moderat (al-wasathiyah) menganjurkan pemeluknya untuk memilih jalan tengah dalam memenuhi kebutuhan spritual dan material dalam dirinya. Pengontrolan dimensi biologis sangat ditekankan demi menjaga kesehatan fisik maupun mental.
Adanya motivasi-motivasi biologis dalam diri seseorang dipandang Islam sebagai sebuah fithrah yang tidak boleh diputus. Yang diinginkan Islam dalam pengendalian motivasi biologis adalah agar seseorang mampu mengatur dengan baik pemuasan motivasinya dengan tetap memperhatikan kemashlahatan individu dan sosial.
Al-Quran dan Al-Hadits mengajarkan cara mengatur pemuasan motivasi manusia yang bersifat fithrah dengan berpegang kepada prinsip berikut:
a. Melampiaskannya melalui cara yang halal dan diizinkan oleh syariat. Misalnya, melampiaskan motivasi seksual dengan cara menikah, sedangkan cara pelampiasan dengan berzina dipandang haram berakibat dosa dan hilang ketenangan. Selain melampiaskan dengan cara yang halal, pemenuhannya juga harus diselaraskan dengan norma sosial dan kebudayaan yang baik. Orang yang belum mampu hendaknya mengendalikannya motivasinya dengan berpuasa agar tetap menjaga kesucian (Taufik, 2006). Allah berfirman: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah Memberi kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya.” (QS. An-Nuur: 33). Dan Nabi SAW bersabda; “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah, karena nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.”(HR. Bukhari dan Muslim)
b. Tidak berlebih-lebihan dalam melampiaskan motivasi, karena dapat menimbulkan madharat pada kesehatan fisik dan psikis.
Beberapa hal urgen bagi kesehatan mental yang menjadi perhatian Rasulullah dan selalu diajarkan kepada para sahabat antara lain:
1. Perasaan aman, Nabi bersabda: “Barang siapa di antara kalian merasa aman di tengah keluarganya pada pai hari, sehat fisik, dan memiliki bahan makanan hari yang dijalaninya maka seakan-akan selruh dunia menjadi miliknya (HR. Tirmidzi).
2. Bergantung pada diri sendiri, Nabi bersabda: “Siapa yang mau menjamin diriku untuk tidak tidak meminta sesuatu apapun kepada manusia dan aku akan menjamin untuk surga? Tsauban berkata “Akum mau wahai rasul”. Maka terbukti bahwa Tsauban memang tidak pernah meminta sesuatu apa pun kepada orang lain (HR. Abu Dawud).
3. Percaya diri dan teguh pendirian, Nabi bersabda: “Janganlah kalian menjadi pembeo! Kalan akan berkata kami berbaut baik jika orang-orang berbuat baik, dan kami berbuat dzalim jika orang-orang berbuat dzalim. Akan tetapi berpendirianlah kalaian yang teguh! Jika orang berbuat baik, hendaklah kalian berbuat baik, namun jika mereka berbuat buruk , maka janganlah kalian berbuat dzalim (HR. Tirmidzi).
4. Rasa tangggung jawab, Nabi bersabda: “masing-masing kalian adalah pemimpin. Dan masing-masing kalian akan mempertanggung jawabkan apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin mempertanggung jawabkan rakyatnya, seorang suampi merupakn pemimpin dalam keluarganya dan mempertanggungjawabkan apa yang dipimpinnya, seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan mempertanggung jawabkan sesuatu yang dipimpinnya. Pelayan merupakan pemimpin dalam harta tuannya dan mempertanggung jawabkan sesuatu yang dipimpinnya (HR. Al Bukhari).
5. Berani mengutarakan pendapat, Nabi bersabda: “Hendakanya salah seorang di antara kalian tidak menghina dirinya sendiri! Para sahabat bertanya “bagaiamana seseorang dari kami menghina dirinya sendiri? Rasulullah menjawab “Dia memandang ada sesuatu yang harus dia katakan karena Allah, namun dia tidak mengatakannya. Maka pada hari kiamat Allah Azza Wajalla berfirman “Apa yang menghalangimu untuk mengatakan ini dan itu? Dia pun berkata “aku tidak mengatakannya karena takut pada orang-orang. Allah berfirman “Hanya kepada-Ku kamu lebih berhak untuk merasa takut. (HR. Ibnu Majah)”
6. Ridha menerima takdir, Nabi bersabda: “Ridhalah kamu terhadap apa yang telah diberikan Allah kepadamu, niscaya kamu akan menjadi orang yang paling kaya!” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
7. Sifat Sabar, Nabi bersabda: “Sesungguhnya kadar besarnya balasan tergantung pada kadar besarnyanya cobaan yang ditimpakan, sesungguhnya jika Allah mencintai sebuah kaum maka Allah memberikan cobaan kepada mereka. Barang siapa yang ridha (bersabar) terhadap cobaan maka ia akan memperoleh ridha Allah. Dan barang siapa yang marah maka ia akan mendapat murka Allah (HR. Tirmidzi).
8. Menunaikan pekerjaan secara efektif dan sempurna, Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang di antara kalian jika mengerjakan sebuah pekerjaan, maka ia menyempurnakannya (HR. Al Baihaqi).
9. Memperhatikan kesehatan fisik, Nabi bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah dari pada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim) Untuk mendidik jiwa dengan sifat-sifat di atas, Rasulullah SAW memberikan kuncinya dengan menjelaskan tentang pentingnya membenahi “sisi dalam” dirinya, yaitu hati. Beliau bersabda: “ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad terdapat sekerat daging, jika sekerat daging itu baik, maka akan baik seluruh jasad. Namun jika sekerat daging itu rusak, maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah, sekerat daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari Muslim).
Kesimpulan antara lain:
1) menjaga kesehatan mental dalam perspektif Al Qur‟an dan As-Sunnah berpijak pada prinsip wasathiyah (moderasi) dalam pemenuhan kebutuhan antara yang bersifat material dan spiritual,
2) metode Al-Qur‟an dan Al Hadits dalam Journal An-nafs: Kajian dan Penelitian dalam merealisasikan kesehatan mental antara lain dengan penguatan dimensi spritual, pengendalian motivasi biologis dan metode mempelajari hal yang urgen bagi kesehatan mental. Ketercapaian metode tersebut dapat dilihat dari kehidupan nabi dan para sahabat dari sisi hubungannya dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri, hubungannya dengan orang lain, dan alam semesta.